Senin, 04 Oktober 2010

= ESSAY: SINETRON BETAWI: KOK BEGITU?

ESSAY: SINETRON BETAWI: KOK BEGITU?

by Chairil Gibran Ramadhan on Friday, September 17, 2010 at 2:58pm


Essay ini pada 2009 pernah tampil di situs resmi LKB (Lembaga Kebudayaan Betawi). Lalu pada Juli 2010 pernah menjadi bahasan pada "Forum Kajian Budaya Betawi" di kantor LKB, dengan CGR sebagai pembicaranya (oleh CGR pernah pula disebarkan ke ratusan e-mail). Pihak LKB kemudian membentuk tim yang akan membawa masalah ini ke KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Tunggu saja tanggal mainnya.

Essay:Sinteron Betawi: Kok begitu?oleh Chairil Gibran RamadhanSeorang pernah bertanya, apa saya gemar menonton sinetron berlatar Betawi. Saya segera menggeleng. “Kenapa? Anda ‘kan orang Betawi,” cecar orang itu. Dan jawaban saya singkat: “Justru karena itu.”Saya tidak berbohong kepada orang itu. Paling hanya sesekali saja saya melihat sebuah episode dari judul-judul sinetron berlatar Betawi yang ada—jika sedang timbul keingintahuan. Dan tidak lebih dari 5-10 menit. Lalu yang saya lakukan adalah kembali menonton acara lain, atau mematikan TV.

Betawi hingga kini dan sampai kapan pun memang akan tetap menjadi suku primadona untuk tayangan sinetron di TV-TV kita. Jika sempat, coba jumlahkan, berapa banyak sinetron lokal yang mengangkat etnis Betawi sebagai tokoh cerita berikut latar belakangnya? Bahkan Si Doel Anak Sekolahan tercatat sebagai sinetron berlatar Betawi paling fenomenal dalam jagat sinetron kita yang berlatar Betawi, baik dari segi jumlah episode, pemasukan iklan, maupun kemunculannya. Seperti kita tahu, SDAS sudah beberapa kali ditayangkan ulang di stasiun TV yang dulu pertama kali menayangkannya, dan pernah pula ditayangkan di beberapa stasiun TV lain. Judul-judul lain dari sinetron berlatar Betawi yang bisa disebutkan namun biasa-biasa saja prestasinya adalah Kawin Gantung, Juragan Lenong, Julia Anak Gedongan, atau Juragan Jengkol.

Ironisnya sinetron-sinetron tersebut justru dibuat dengan pakem yang tidak berubah: komedi konyol-konyolan (padahal orang Betawi itu humoris, bukan konyol). Sedikit sekali yang menggambarkan Betawi secara wajar apalagi cerdas. Satu-dua yang dapat disebutkan mungkin hanya Abu Mawas dan Mat Angin—kebetulan keduanya karya Deddy Mizwar—yang pada pertengahan dekade 90-an pernah ditayangkan di SCTV dan TPI. Selebihnya maaf….Dan sebagai dampak lain dari sinetron-sinteron berlatar Betawi yang penuh kekonyolan tersebut, adalah turut memporak-porandakan image terhadap orang Betawi—karena di dalamnya selalu digambarkan orang Betawi yang lugu, naif, bodoh, ketinggalan zaman, dan tentunya karikatural.

Sejak zaman Si Doel Anak Modern-nya Sjuman Djaja hingga sekarang, boleh dibilang wajah Betawi hanya berjalan di tempat dan tak pernah ada perubahan. Padahal orang Betawi “nggak begitu-begitu amat.”Selain cerita-cerita yang dangkal seperti umumnya sinetron kita—dengan adegan-adegan “maksa” yang diharapkan menghasilkan tawa—sesungguhnya cacat sinetron berlatar Betawi tak hanya di situ. Pengetahuan yang minim dari para pembuatnya tentang budaya Betawi, adalah hal utama yang menyebabkan karya mereka begitu seadanya hasilnya.Jika karya-karya tersebut ditonton oleh orang yang sama sekali tidak tahu tentang budaya Betawi atau setidaknya mereka yang “bukan Betawi”, tentu karya tersebut akan dianggap oke-oke saja. Tapi jika penontonnya tahu bagaimana sebenarnya pola kehidupan masyarakat Betawi karena kebetulan mereka adalah orang Betawi atau orang yang bukan Betawi namun mengetahui benar masyarakat Betawi, tentu yang keluar adalah nada minor. Dan dengan begitu berarti karya para pembuat sinetron kita sebagai orang kreatif, dapat dikatakan gagal.

Saya masih ingat benar bagaimana pada November 2000 ketika Jiffest digelar, hampir sebagian besar penonton yang hadir di Jakarta Theater tertawa-tawa menyaksikan The Year of Living Dangerously karya sineas Australia, Peter Weir (1983)—diambil dari novel berjudul sama karya CJ Koch. Namun bayangkan wajah para penonton di luar negeri sana yang tidak tahu apa-apa tentang Indonesia dan Jakarta tahun 1965 ketika menonton film tersebut beredar di tahun 80-an, tentu mereka percaya-percaya saja bahwa memang begitulah wajah Indonesia terutama Jakarta: orangnya, daerahnya, bangunannya. Tak heran bila mereka begitu terkagum-kagum dan memuji film yang dibuat di Filipina itu sebagai “a great film” dan “a sizzler”. Terlebih setelah Linda Hunt yang sesungguhnya seorang perempuan namun memerankan laki-laki, meraih Oscar sebagai pemeran pembantu terbaik.Namun saya sama sekali tak menyalahkan para penonton di Jakarta Theater yang menganggap lucu bagian-bagian film berhias Mel Gibson dan Sigourney Weaver itu. Ya, di Indonesia, film serius itu memang berubah menjadi sebuah komedi.Bagi saya sendiri TYoLD adalah film terburuk yang pernah dihasilkan seorang sineas kelas dunia, lantaran ia telah salah total dalam menggambarkan wajah sebuah negeri bahkan kota. Dan antre berdesak-desakan ratusan calon penonton di hari Rabu itu ternyata tak sebanding dengan apa yang kemudian dilihat.

Bila Anda pernah menonton film ini atau bahkan memiliki VCD-nya sehingga bisa lebih mempelajari, silahkan teliti jumlahkan berapa poin kesalahannya.Lantas kenapa hal itu bisa terjadi?Jawabnya tentu lantaran film tersebut dibuat oleh mereka yang tidak tahu apa-apa tentang Indonesia khususnya Jakarta pada tahun-tahun cerita dimaksud. Bandingkan dengan Pengkhianatan G-30-S/PKI atau Djakarta ’66 karya Arifin C. Noor (alm) yang detil-detil artistik serta kostum yang ditampilkannya nyaris tanpa cacat.

Terlepas dari bagaimana unsur kekuasaan penguasa menyetir cerita film itu.Minimnya pengetahuan yang dimiliki oleh para pembuat sinetron berlatar Betawi tentang orang Betawi, budaya Betawi, dan Betawi itu sendiri, memang sangat mengkhawatirkan. Bahkan oleh orang yang berdarah Betawi atau ada unsur Betawi-nya. Rano Karno misalnya, membiarkan saja terjadinya dialek saling-silang antara tokoh-tokoh dalam SDAS. Ia tak memperhatikan perbedaan antara bahasa Betawi dengan sub-dialek Betawi Pinggir dengan sub-dialek Betawi Tengah. Belum lagi salah setting waktu, kekonyolan yang begitu noraknya orang Betawi pada teknologi, hingga tokoh Mandra yang waras itu namun bersekolah menggunakan seragam pelajar sekolah dasar. Lelucon macam apa ini? Lalu Yasman Yazid yang berdarah Padang, di harian Republika pernah mengatakan bahwa Kecil-Kecil Jadi Manten yang melejitkan nama Sukma Ayu (alm) itu merupakan kenangan dan refleksi yang ditangkapnya selama puluhan tahun hidup di Jakarta. Nah luh! Kenangan dan refleksi macam apa? Apakah ia pernah melihat gadis yang begitu tomboy hingga mencukur rambutnya botak, lalu dipindahkan ke dalam tokoh Rogaye yang waras namun mencukur rambutnya model si Kuncung atawa Ronaldo. Padahal kalau saya tidak salah ingat, di dalam masyarakat Betawi, perempuan dibotaki hanya oleh dua sebab: Hamil di luar nikah, atau gila. Dan Rogaye tidak keduanya.

Dengan setting waktu masa kini di tahun 90-an lalu atau 2000-an kini namun para tokohnya berpakaian model tempo doeloe saja, sesungguhnya sinetron-sinetron yang ada sudah cukup menggelikan. Perhatikan tokoh ayah dalam banyak sinetron berlatar Betawi yang selalu digambarkan mengenakan peci hitam, baju koko, kain diselempangkan di pundak, celana panjang batik, ikat pinggang ijo, dan golok di pinggang. Atau tokoh ibu yang selalu berkerudung, ber-konde, dan mengenakan kebaya encim, lengkap dengan panggilan “nyak” yang disandangnya--meskipun orang itu semuda Cut Keke sewaktu ia memerankan tokoh ibu dalam sinetron KKJM (padahal di tahun 50-an saja sudah banyak orang Betawi yang memanggil ibunya dengan “mak” bahkan “ibu”. Dan sejak tahun 90-an saya sering menemukan anak dari keluarga Betawi yang menggunakan “mama” atau “papa” untuk orangtuanya yang asli Betawi).Dan delman? Ah, terlalu romantisme masa lalu rasanya.

Cacat lain pada sinetron berlatar Betawi adalah bahasa yang digunakan selalu asal terdengar “e”: Kemane, ngape (kenape), pegimane, e, e, e, e. Bahkan pernah terjadi, kata-kata yang seharusnya tetap “a” diubah spontan atas dasar ketidaktahuan menjadi “e”, macam kembang menjadi kembeng, dan kemari menjadi kemeri.

Padahal bahasa Betawi tidak hanya ber-“e”-“e” yang merupakan ciri dari bahasa Betawi dengan sub-dialek Betawi Tengah (disebut juga Betawi Kota)—yang bahasanya banyak dipengaruhi bahasa Arab, Bali, Belanda, Inggris, Portugis. Dan itu tadi, tidak semua kata berakhiran “e” atau disisipi “e”.

Dalam bahasa Betawi dikenal pula bahasa Betawi dengan sub-dialek Betawi Pinggir (disebut juga Betawi Ora) yang bahasanya banyak dipengaruhi bahasa Sunda dan Jawa. Sunda membuat banyak katanya menjadi berakhiran “a” atau “ah” namun tidak semua kata—serta mengenal mah. Kemana menjadi kemanah, kenapa menjadi ngapah, bagaimana menjadi pegimanah. Sedangkan pengaruh Jawa membuatnya akrab dengan kata-kata semisal wadon, lanang, bocah, bae atau ora—itulah sebabnya disebut Betawi Ora karena kerap menggunakan ora untuk tidak (selain kagak). Pengaruh ini disebabkan lantaran penggunanya memang berbasis di daerah-daerah yang berbatasan dengan Jawa Barat semacam Bekasi, Tangerang, Depok, Parung, serta dihuni oleh komunitas-komunitas orang Jawa yang mulai berdatangan pada zaman Hindia Belanda.

Khusus seni pertunjukan dramanya yang bila di dalam sinetron hanya Lenong yang dikenal, dengan peralatan musik dan syairnya berbau Cina—padahal Lenong adalah miliknya orang dengan sub-dialek Betawi Tengah—maka orang dengan sub-dialek Betawi Pinggir menyalurkan seni dramanya lewat Topeng yang peralatan musik dan syairnya berbau Sunda. Persamaan keduanya di panggung hanya satu: Berbasis humor, karena tema ceritanya saja sudah berbeda. Jika Lenong menyuguhkan cerita-cerita action para jagoan, maka Topeng berputar pada masalah-masalah rumah tangga macam anak kawin lari atau istri yang mata duitan.

Seringkali pula, kerancuan pada sinetron kita yang berlatar Betawi lantaran pemainnya yang sesungguhnya dari latar Betawi Ora dengan sukarela “nyebrang” menjadi orang Betawi Tengah dengan “e”-nya yang terdengar aneh. Maka penonton pun jadi ikut menganggap, bahwa Betawi adalah “e” dan Lenong. Belum lagi para Betawi Palsu (orang yang memerankan orang Betawi namun begitu buruk aktingnya) yang memberi cacat. Dan encang serta encing, ini sesungguhnya milik orang Betawi Tengah untuk menyebut kakak dari orangtua dan adik dari orangtua—lelaki atau perempuan. Sebab orang dari Betawi Pinggir menggunakan uwa untuk kakak lelaki dan perempuan dari orangtua, serta mamang untuk menyebut adik dari orangtua, dan ence untuk adik perempuan dari orangtua.

Sampai kapan pun sinteron berlatar Betawi tidak akan pernah hilang dari layar TV. Namun demi pencapaian kualitas dan pencapaian martabat dari para pembuatnya sebagai orang-orang dari barisan kreatif, ada baiknya bila mereka mau sedikit berpikir dan bercapek-capek mengeluarkan keringat. Misalnya dengan melakukan riset lapangan dengan turun ke kampung-kampung yang dihuni orang Betawi, riset pustaka dengan membaca buku-buku, atau bertanya pada orang-orang yang dianggap tahu tentang budaya Betawi.

Masalahnya adalah, jika para pembuat sinetron itu tidak ingin melakukan kemajuan apa-apa baik di dalam karya maupun mutu diri mereka, keringat yang agak lebih memang tidak akan keluar dari dahi dan badan—lantaran dengan keyakinan bahwa buat apa bercapek-capek sebab karya asal-asalan saja tetap ada penontonnya. “Bukankah sampah saja ada pemakannya?”

Bujug dah!

* Chairil Gibran Ramadhan, sastrawan betawi dan manta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar