Senin, 04 Oktober 2010

= ESSAY "TAMAN SURGA": NGAJI LONTONG

ESSAY "TAMAN SURGA": NGAJI LONTONG

by Chairil Gibran Ramadhan on Sunday, September 26, 2010 at 4:25pm

TETANGGA perempuan tepat di sebelah kanan rumah si fulan, ia tahu begitu rajin keluar rumah untuk mengikuti pengajian dan majelis taklim: Rabu Siang, Kamis Pagi, Malam Jumat, dan Ahad minggu kedua. Belum lagi dzikir massal tiap Ahad minggu pertama dengan pakaian serba putih. Pakaiannya pun aneka warna dan model. Namun sejauh yang si fulan tahu pula, perilaku sehari-hari perempuan itu tidak juga beranjak ke arah perbaikan akhlak. Ia tetap gemar bergunjing, melempar fitnah, menyimpan dengki, dan membakar dendam. Pendeknya, perilaku si perempuan sangat jauh dari Al-Qur’an dan Al-Hadist. Dan suaminya yang tak berilmu dunia dan agama itu, juga tak mampu mendidiknya--padahal suami adalah imam bagi seorang istri dan imam harusnya "serba lebih" daripada makmum.

Maka si fulan mengistilahkan, tetangganya yang diketahuinya memiliki sifat buruk itu, serupa setan. Jadi meskipun rajin mengikuti pengajian, majelis taklim, dan dzikir massal, tetaplah ber-akhlak Setan—yang selalu ditutup-tutupinya dengan mudah tertawa bahkan untuk hal yang tidak perlu jenaka sekalipun. Padahal bagi si fulan, mestinya semua kegiatan beragama itu mampu membuat si perempuan takut kepada mati—siksa kubur dan siksa akhirat.

“Sesungguhnya Kami telah menyucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi, yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.” (QS. Shaad: 46)

Bagi si fulan, akhirnya, layaknya ibadah-ibadah lain yang dilakukan tetangganya itu—puasa di bulan Ramadhan dan sholat lima waktu—maka pengajian, majelis taklim, dan dzikir massal itu pun menjadi hanya sebatas dikerjakan, bukan didirikan. Sebab hidup berjalan tanpa perubahan, dan si perempuan tetaplah seorang yang hidup di dalam keburukan-keburukannya. Seringkali dalam perjalanan pulang “mencari ilmu”, si fulan mendengar tetangga perempuannya itu menertawakan kekurangan dan kesusahan orang lain, lengkap dengan gunjingan-gunjingan lain. Belum lagi kesehariannya yang penuh dengan tindakan-tindakan tak menjaga lisan, tak menjaga hati, dan tak menjaga perasaan orang lain terutama tetangga. Bukankah dalam taklim setidaknya pernah dijelaskan bahwa menyakiti hati tetangga merupakan dosa besar? Bahkan pernah dikisahkan, ada seorang perempuan ahli ibadah yang masuk neraka karena lisannya menyakiti hati tetangganya. Bagaimana pula jika ia bukan seorang ahli ibadah?

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,” (QS. An-Nisa: 36)

Lantas si fulan berpikir, apa sesungguhnya yang tetangganya peroleh dari kegiatan-kegiatan bernuansa agama itu? Kenalan baru, baju kreditan, atau besek? Lantas apakah tidak ada secuil pun ilmu yang “nyangkut” di kepalanya? Apa sebegitu minim kemampuan otaknya—ia bersekolah formal seadanya—hingga tidak mampu merekam apapun? Padahal sudah seharusnya sepulang dari dzikir massal, majelis taklim, dan pengajian itu, si perempuan membawa ilmu—dari Al Qur’an dan Al Hadist—dan kemudian mengamalkannya dalam keseharian dan akhlak pun berubah baik. Jadi bukan sekedar datang, duduk, mendengar, dan yang didengarkan itu pun hanya masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri (lantaran datang semata ikut-ikutan)—atau bahkan tidak masuk sama sekali lantaran minimnya kemampuan otaknya. Bukan pula meninggalkan ilmu-ilmu itu tetap berada di dalam ruangan majelis, dan hanya membawa lontong ke rumah sebagai oleh-oleh untuk anak dan suami, bahkan dirinya sendiri.

Kalau sudah begitu, tentu lebih baik jika ia tidur di rumah!

Ash-Shuffah, 140608

Catatan: Essay ini merupakan rangkaian dari 84 bernuansa Betawi dan Islam yang saya tulis dengan tema "TAMAN SURGA".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar