Senin, 04 Oktober 2010

= TIONGHOA, LEBARAN, DAN BETAWI


TIONGHOA, LEBARAN, DAN BETAWI

by Chairil Gibran Ramadhan on Thursday, September 30, 2010 at 8:30pm

ORANG SELAM

Pada abad ke-19, tepatnya tahun 1865, seorang ningrat dari Surakarta bernama Raden Aryo Sastrodarmo melancong ke Batavia dan mengabadikannya dalam buku “Kawontenan Ing Nagari Betawi”. Ia menulis, etnis yang bermukim di sana bercakap-cakap dalam bahasa Melayu dan menyebut dirinya “orang Betawi”, selain juga “orang Selam” (Islam). Lelakinya berkepala gundul dan perempuannya berpakaian seperti nyai. Adat-istiadat mereka mirip orang Tionghoa, termasuk cara memperkenalkan diri, duduk, dan bicara. Mereka duduk di kursi dan menikmati hidangan dengan menggunakan meja. Orang Tionghoa dan orang Betawi bergaul akrab dalam kehidupan dengan melakukan perniagaan dan pertukangan. Mereka juga saling mengerti bahasa dan belajar ilmu bela diri.

Penggambaran tentang betapa harmonis dan nyamannya kehidupan orang Tionghoa di atas sungguh melegakan, mengingat pada 8-10 Oktober 1740 mereka menjadi korban pembantaian besar-besaran pemerintah Hindia Belanda [tersohor dengan sebutan "Chineesche Troebelen"). Menurut kisah, mereka kemudian menyingkir ke Tangerang dan membangun sebuah benteng pertahanan di sana. Inilah yang dikatakan sebagai cikal-bakal masyarakat Cina-Benteng. Namun menurut sinolog dari UI, Eddy Prabowo Witanto MA, asal-usul kata Cina Benteng tidak terlepas dari kehadiran Benteng Makassar. Benteng yang dibangun pada zaman kolonial Belanda itu-sekarang sudah rata dengan tanah-terletak di tepi Sungai Cisadane, di pusat Kota Tangerang. Nah, mana yang akan dipercaya? Kisah dari mulut ke mulut atau perkataan seorang sinolog?

Peristiwa yang terjadi pada masa Gubernur Jendral Adriaan Valckenier ini (1737-1741) berbuntut pada pengadilan atas Nie Hoe Kong, kapitan Tionghoa waktu itu, hingga pembuangannya ke Ambon dan wafat di sana pada 23 Desember 1746. Kesimpulan yang dapat bila kita membaca “Nie Hoe Kong: Kapiten der Chineezen te Batavia in 1746” karya B. Hoetink, Hoe Kong adalah korban fitnah pemerintah Belanda.

SEMUR KEBO DAN JANHWEE

Menarik dicermati bagaimana seni-budaya dan adat istiadat Tionghoa terjelma dalam makanan, busana, bahasa, dan adat–istiadat orang Betawi. Mungkin hanya dalam perkara ritual agama saja orang Betawi terbebas dari pengaruh orang Tionghoa. Karena dalam pernak-pernik perayaaan keagamaan semacam Lebaran saja misalnya, pengaruh itu sangat kuat terlihat.

Hingga pertengahan dekade 1990-an, di kampung-kampung yang dihuni oleh orang Betawi, sepanjang bulan Ramadhan dan menjelang Lebaran, petasan adalah atmosfir yang harus ada. Rasanya kurang afdol dan kagak berasa bulan puasa bila selama bulan Ramadhan dan malam Takbiran tidak terdengar bunyi petasan. Bahkan di masa itu dan masa-masa sebelumnya, orang-orang kaya Betawi, kerap meramaikan malam Takbiran dengan memasang 5-6 renteng petasan susul-menyusul. Mereka biasanya memasang setelah sholat Isya ketika gema takbir akan dikundangkan dari tiap masjid dan mushola diiringi suara beduk yang dipukul bertalu-talu sepanjang malam Takbiran hingga hari Lebaran. Renteng adalah istilah dalam ukuran panjang rangkaian petasan yang tersedia dalam ukuran dua dan tiga meter.

Darimanakah datangnya petasan yang khas Tionghoa itu—seperti juga beduk? Daerah pengrajin petasan yang ternama selama puluhan tahun adalah wilayah Parung, yang meskipun secara geografis berada dalam wilayah Jawa Barat (Sunda) namun secara kultural adalah Betawi. Di sana petasan diproduksi oleh industri-industri rumahan. Dari sanalah petasan kemudian beredar di antero tanah Betawi.

Anak-anak kecil adalah golongan yang paling banyak memaminkan petasan di samping orang dewasa. Mereka membeli secara eceran di rumah-rumah tetangga, dengan jenis yang berbeda-beda: Janhwee, cabe rawit, banting, dan terbesar adalah teko dan memasangnya di tanah lapang atau jalan-jalan kampung. Janhwee oleh lidah Betawi sering diucapkan sebagai “jangwe”. Dahulu, orang Betawi memasang petasan sekedar untuk meramaikan malam Lebaran dan tanpa maksud mencederai orang lain.

Di hari Lebaran, adalah sesuatu yang wajib bagi orang Betawi untuk membuat semur daging kebo (kerbau) yang menjadi pelengkap ketika menikmati ketupat dengan siraman sayur sambal godok. Meski semur berasal dari khasanah dapur orang Portugis, namun kecap datang dari khasanah dapur orang Tionghoa. Bahkan pernah begitu dikenal merk “Kecap Benteng” yang dibuat orang Cina Benteng di Tangerang.

Di rumah-rumah orang Betawi pada Hari Lebaran juga ada yang namanya kue satu, sebuah kue khas kaum Tionghoa peranakan yang telah menjadi bagian dari kue lebaran bagi orang Betawi. Kue ini terbuat dari tepung kacang hijau dan tepung gula pasir yang dicampur, dicetak dalam cetakan kayu berbentuk ikan atau bunga, dan dijemur di terik matahari. Kue satu yang paten buatan keluarga Betawi adalah tanpa campuran apapun dan tidak melalui pembakaran.

MANISAN PEPAYA DAN DODOL CINA

Jenis penganan lain yang menjadi hidangan Lebaran di rumah orang Betawi yang berasal dari khasanah orang Tionghoa adalah manisan. Setidaknya ada tiga jenis buah yang menjadi bahannya: Manisan pepaya, manisan kolang-kaling, dan manisan ceremai. Penganan ini hanya ada di hari lebaran. Sebab di hari biasa, rasanya orangyang serajin apapun membuat penganan, akan enggan membuatnya. Tentu ada alasan psikologis di sana.

Pengaruh lain adalah diterimanya dodol cina sebagai penganan Lebaran orang Betawi, yang sesungguhnya merupakan kue utama pada perayaan tahun baru orang Tionghoa, "sin tjia". Oleh kalangan Tionghoa, kue ini biasa disebut "kue cina" atau "kue keranjang".

Pengaruh Tionghoa memang kelewat banyak dalam kehidupan orang Betawi. Dalam seni musik misalnya, khasanah Tionghoa tampil lewat gambang kromong, orkes pengiring pertunjukan Lenong dan penari cokek (chiou-khek, dialek Hokkian selatan), yang terdiri dari alat-alat musik beraroma cina: Tehyan, kongahyan, dan sukong. Lagu-lagunya pun pada awalnya berlirik bahasa Tionghoa, setelah belakangan muncul dalam lirik berbahasa Betawi. Dalam hal busana, peran Tionghoa tercermin lewat baju koko, celana pangsi, kebaya encim, serta dandanan "care cina" pada pengantin wanita Betawi. Baju koko bahkan telah lama dikenal dan diterima sebagai busana muslim serta menjadi koncian lelaki muslim saat Lebaran. Baju ini sesungguhnya bermula dari baju tuikhim" yang dipakai oleh lelaki-lelaki Tionghoa pada abad lampau. Pun celana pangsi yang berwarna hitam itu.

Dan orang-orang di masa kini mungkin tidak tahu dengan istilah langkan (pagar di serambi rumah atau jembatan), pangkeng (kamar tidur), cita (bahan kain), topo (kaain perca untuk mengelap), biting (penyemat dari lidi atau bambu untuk membungkus daun), baktau (mucikari), cingcong (banyak tingkah), juhi (cumi-cumi), tapang (tempat tidur kayu), bongtahay (tumbuhan laut untuk obat sakit tenggorokan), anglo (perapian kecil dengan bahan baka arang). Mungkin yang masih sangat diketahui adalah engkong, toko, kuli, piso, kemoceng, cawan, kasut, teko, lonceng, lonteng, sampan, bakiak, wayang, tong, gincu, cat, centeng, bangsat, gundik, cabo, kawin, comblang, bopeng, kate, teh, kecap, kue, lobak, kucai, lengkeng, tengteng, kwai, tahu, soto, toge, lokio, dan sawi. Jangan ragukan pula keberadaaan mi, bihun, su’un, dan hun-kwee. Percayalah, kata-kata itu berasal dari khasanah Tionghoa.

Dengan diterimanya makanan, busana, bahasa, dan adat–istiadat orang Tionghoa dalam kehidupan masyarakat Betawi dan juga nasional, rasanya "keterlaluan banget" jika kita tetap menganggap mereka sebagai non-pribumi. Tabe!

Pondok Pinang, Agustus 2010.

* Chairil Gibran Ramadhan, sastrawan Betawi dan mantan wartawan.

CATATAN: Essay ini juga termuat dalam "www.stambulpanjak.blogspot.com" dan Harian Republika, edisi 5 September 2010, serta beberapa situs lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar