Senin, 30 Agustus 2010

= Essay: BETAWI COMBERAN oleh CHAIRIL GIBRAN RAMADHAN

Essay: BETAWI COMBERAN oleh CHAIRIL GIBRAN RAMADHAN






by Chairil Gibran Ramadhan on Sunday, August 29, 2010 at 3:27pm


Betawi Comberan


oleh Chairil Gibran Ramadhan

Judul di atas saya gunakan sehubungan "pemisahan" atas orang Betawi yang dengan sangat diskriminatif memakai istilah Betawi Gedongan.

Bagi saya istilah tersebut sangat mengada-ada dan tidak berdasar. Jika ada dasarnya, maka dasarnya itu sangat dangkal dan tidak masuk akal. Memangnya apa yang aneh dengan orang Betawi yang menjadi pintar, elite,dan berkelas? Apa yang aneh dengan misalnya orang Betawi yang lebih mengandalkan otaknya untuk bekerja dan berkiprah di wilayah-wilayah pekerjaan yang "serius", macam menjadi polisi, tentara, dokter, dosen,politikus, bahkan peneliti. Apa orang Betawi hanya pantas tinggal di kampung-kampung, pegang cangkul, ngangon kambing, dan jadi tukang ojek?

Dan logikanya, jika ada istilah Betawi Gedongan, tentunya ada pula istilah Betawi Comberan—karena di dunia ini selalu berpasangan-pasangan: Malam, siang, lelaki, perempuan, bulan, matahari, baik, buruk, kaya, miskin. Jika orang Betawi kaya dan pintar disebut Betawi Gedongan; maka orang Betawi miskin dan bodoh disebut... Betawi Comberan? Begitu?

Kalau pemakaian istilah Betawi Comberan suatu waktu mendapat tanggapan berupa pembantahan, kenapa pula tidak ada pembantahan atas istilah Betawi Gedongan? Apa karena kita terbiasa menerima yang baik dan menolak yang buruk? Apa karena kita terbiasa menyukai yang indah daripada yang jelek?

Memang tidak dapat dipungkiri keberadaan orang Betawi yang terbelakang pendidikan, ekonomi dan status sosialnya. Tapi bukankah hal ini biasa dalam hidup—karena begitulah aturan Tuhan—dan tak hanya terjadi pada suku Betawi. Kenapa takada istilah Batak Gedongan untuk mereka yang sukses sebagai politikus atau pengusaha, lalu diciptakan pula istilah pula Batak Comberan untuk mereka yang menjadi pelaku kriminal di bis dan preman di terminal? Kenapa tak ada istilah Jawa Gedongan untuk mereka yang sukses sebagai politikus atau pengusaha, lalu diciptakan pula istilah pula Jawa Comberan untuk mereka yang menjadi pembantu di rumah-rumah dan tukang becak di pasar-pasar?

Jadi sungguh mengada-ada bahkan terkesan bodoh jika kita tetap saja menggunakan istilah Betawi Gedongan untuk orang-orang Betawi yang meniti kehidupannya di jalur-jalur yang memang jarang dimiliki orang Betawi umumnya. Karena sesungguhnya tak ada yang istimewa dengan orang Betawi yang menjadi pintar, elite dan berkelas.Tak ada yang istimewa juga bila ada orang Betawi yang tetap hidup tanpa pendidikan di tengah mahalnya biaya hidup dan pendidikan saat ini dan pemerintah serta swasta berlepas tangan daripadanya.

Pemakaian istilah Betawi Gedongan ini tak lepas dari kenyataan bahwa selama ini terutama hingga tahun-tahun 1980-an, orang Betawi terhitung langka yang berkiprah di lapangan-lapangan pekerjaan "serius" seperti yang disebutkan di atas.

Namun alangkah baiknya jika kita memahami dulu akar permasalahannya kenapa (dahulu) banyak orang Betawi yang enggan bersekolah formil dan itu akhirnya berakibat pada tidak dapatnya mereka menembus lapangan-lapangan pekerjaan formil semacam di pemerintahan, institusi kesehatan, kampus, dan kantor-kantor.

Pada jaman pendudukan Belanda ketika Indonesia ini masih bernama Hindia Belanda, institusi pendidikan-pendidikan formil yang ada mau tidak mau dipegang oleh Belanda sebagai pemegang kekuasaannya, termasuk dalam hal pelajaran dan sistem pendidikannya. Lantaran orang Belanda beragama Nasrani dan orang Betawi kental dengan Islam sebagai agamanya, maka orang-orang tua Betawi, melarang anak-anaknya bersekolah dengan kekhawatiran bahwa nanti akan dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran tentang agama nasrani dan memang ada fakta yang menyebutkan bahwa di sekolah-sekolah milik Belanda itu mereka giat benar memasukkan nilai-nilai agama kepada para pelajarnya—seperti yang memang diperintahkan dalam agama Nasrani.

Melihat kenyataan inilah maka orang Betawi lebih memilih menyekolahkan anaknya di pesantren, madrasah, atau mengirim mereka ke rumah-rumah ustadz untuk belajar agama. Akibatnya mereka hanya faham ilmu-ilmu agama, namun buta di pengetahuan-pengetahuan lain semisal bidang kesehatan, ekomoni, dan kenegaraan. Lantas fakta di masa puluhan tahun lalu inilah yang kemudian diadopsi ke dalam sebuah lagu moder berlirik "kerjaannye sembayang-mengaji." atau "anak Betawi ketinggalan jaman, katenye."

Dan jika hingga millennium ketiga ini kita masih mempercayai benar dengan image orang Betawi yang malas sekolah, bodoh dan terbelakang, lebih-lebih meyakininya image tersebut lantaran pernah "dipatenkan" dengan lirik lagu "anak Betawi ketinggalan jaman, katenye.", bukankahitu artinya justru kita sendirilah yang telah ketinggalan.

Anak Betawi ketinggalan jaman, katenye. Kata siapa? Apa kata orang yang miskin wawasannya?

Celakanya hingga kini masih banyak orang yang mengernyitkan dahi bila mendengar ada orang Betawi yang serius. Karena bagi mereka, yang mereka tahu orang Betawi itu lucu dan tak pantas maju. Bahkan orang Betawi yang kaya dan berpendidikan saja dianggap istimewa, aneh dan makhluk langka hingga melahirkan istilah Betawi Gedongan.

Image orang Betawi yang hanya pantas berada di garis belakang ini, tidak dapat dipungkiri, salah satu penyebab utamanya adalah lewat tontonan seperti film dan terlebih-lebih sinetron, dan juga bacaan-bacaan dengan tokoh Betawi yang ditampilkan secara konyol, bodoh dan karikatural--sepert tokoh Boim dan Gusur dalam serial Lupus, dan tokoh Somad dalam serial Olga (keduanya merupakan karya Hilman Hariwijaya). Lihat saja di TV-TV kita, betapa orang Betawi menjadi bahan bulan-bulanan penulis cerita sampah. Mereka, orang Betawi itu—entah yang diperankan oleh Betawi tulen atau Betawi Palsu—selalu memerankan tokoh-tokoh karikatural yang bila di dalam kehidupan nyata sama sekali tidak ada orang seperti itu. Padahal orang Betawi, seperti kata Sarnadi Adam di Harian Kompas sekitar tahun 1996, "Nggak begitu-begitu amat."

Nah, karya-karya buruk inilah yang turut memporak-porandakan image terhadap orang Betawi.

*sastrawan betawi dan mantan wartawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar