Rabu, 04 Agustus 2010

= Mathar Moehammad: CATATAN DISKUSI FORUM JUMATAN 16 JULI 2010 bersama Chairil Gibran Ramadhan






CATATAN DISKUSI FORUM JUMATAN 16 JULI 2010 bersama Chairil Gibran Ramadhan

Sunday, July 18, 2010 at 11:10pm


Pengantar :
Alhamdulillah Forum Kajian Jumatan LKB sudah masuk edisi 11, adan topic bahasan sudah lebih detail dengan member kesempatan pada orang Betawi atau yang perduli pada Betawi untuk “Infaq-Shadaqah” ilmu pengetahuan atau informasi apapun untuk membangkitkan semangat mengangkat nilai-nilai ke-Betawian,khususnya dalam menampilkan karya-karya kreatif dalam bidang sastra,seni dan budaya.
Munculnya orang-orang yang berkarya dengan settingBetawi,baik dari kalangan Betawi atau manapun tentu menjadi oase bagi perindu karya Betawi. Belakangan ini ternyata sudah banyak respon dari orang-orang yang dulu-nya ogah ngaku Betawi, malah sekarang mulai berkeinginan untuk bersama. Bukan maslah mereka tidak mau terlibat dalam Ormas-Ormas Betawi, tetapi ruang untuk mereka hamper tidak ada,kecuali di Lembaaga Kebudayaa Betawi (LKB) yang tiap jumat siang selalu kumpul silaturahmi sharing pengetahuan dan terobsesi untuk mengangkat kembali nilai-nilai sastra,seni dan budaya Betawi untuk berarad dalam panggung kebudayaan Nusantara.

Alhamdulillah dengan niat tulus dan semangat untuk tampilkan Betawi lebih baik lagi, diskusi yang tidak banyak diminati secara umum oleh kalangan Betawi, mulai didatangi justru oleh pelaku dan praktisi sastra,seni dan budaya Betawi. Terima kasih pada mereka yang mau bersama dalam bingkai indah dengan lukisan karya –karya kreatif yang mengangkat nilai-nilai ke-Betawian . Bersama ini Chairil Gibran Ramadhan meresume hasil kajian Juma’ 16 Juli 2010 dengan pemapar kajian Mpok Cici.A. Ilyas. Semoga menjadi bermanfaat buat kite semua dan buat Betawi..(MMK-2010)

Salam sastra,(CGR)

Semakin seru saja acara DISKUSI FORUM JUMAT di LEMBAGA KEBUDAYAAN BETAWI, Gedung Nyi Ageng Serang Lantai 6, Juningan Jakarta Selatan.
Pada Jumat (160710) yang merupakan pertemuan ke-11, diskusi mengambil tema BETAWI DAN SASTRA, dengan tajuk “kreatifitas karya sastra Betawi sebagai penjelas nilai-nilai kebetawian”. Makalah sesungguhnya ditulis oleh Cici A. Ilyas. Namun lantaran ia bukan sastrawan—seperti diakuinya ketika mulai bicara di depan forum—maka yang lebih banyak mengupas kemudian adalah Chairil Gibran Ramadhan yang memang praktisi sastra Betawi, ditambah dengan penulis berdarah Betawi yang sudah lebih dahulu menceburkan diri dalam urusan Betawi: Yahya Andi Saputra. Sebagai panglima perang di acara ini, tetap Mathar Moehammad Kamal. Tak dinyana, hadir pula pelukis yang menyukai tema Betawi dalam karya-karyanya, Sarnadi Adam. Beliau turut kasih pendapat yang mencerdaskan lantaran penuh informasi tajam, akurat, dan terpercaya, tak hanya dibidang sastra tapi juga bidang seni lainnya.

Sekedar intermezo maka boleh dikatakan, bahwa ada salah casting antara diskusi pada Jumat (090710) lalu dengan diskusi kali ini. Pada pertemuan ke-10 yang mengambil tema BETAWI DAN MEDIA, kebetulan yang dibahas adalah sinetron-sinetron bernuansa Betawi yang menjadi ujung tombak penghancuran image terhadap suku Betawi. Saat itu yang menjadi pembicara adalah Chairil Gibran Ramadhan—lantaran membahas essay yang ditulisnya: SINETRON BETAWI: KOK BEGITU? Ia membongkar habis segala kesalahan yang diperbuat praktisi sinetron kita, mulai dari penulis naskah hingga produser. Sastrawan Betawi ini melihatnya semata dari kacamatanya sebagai jurnalis (mantan). Jadi bukan sebagai sastrawan.
Nah, bukankah seharusnya mereka muncul bersebrangan? Sebab bagaimana pun, Cici A. Ilyas adalah salah satu praktisi sinetron, dan Chairil Gibran Ramadhan adalah praktisi sastra Betawi. Tapi kagak ngapah!

2
Sastra Betawi, sesungguhnya tidak berbeda dengan sastra dari daerah manapun. Ia tampil dengan nuansa sesuai pada set daerah yang dimaksud. Maka sejatinya, Sastra Betawi (dalam bentuk cerpen atau novel), mengadung nuansa-nuansa budaya Betawi. Inilkah fungsi Sastra Betawi sebagai penjelas nilai-nilai kebetawian. Tampil dengan setting waktu kapan pun, sebuah cerita dalam Sastra Betawi haruslah sesuai dengan tahun-tahun cerita dimaksud. Jangan sampai terjadi, cerita yang mengambil setting tahun 1970an misalnya, maka yang tampil adalah nuansa tahun 2000an seperti kendaraan, pakaian, penyebutan kekerabatan, dan pernik-pernik lainnya. Cacat ini, kiranya sudah lebih dahulu menjadi “milik” sinetron kita yang bernuansa Betawi dan jangan sampai terulang dalam Sastra Betawi.

Pendek kata, setting tempat, setting waktu, nalar cerita, penokohan, dan hal-hal lain yang telah disebutkan di atas, haruslah jauh dari kategori salah. Di sini sangat dituntut kemauan seorang penulis untuk melakukan riset: Lapangan, pustaka, dan wawancara. Selain itu dituntut pula untuk menghasilkan gaya berbeda dengan penulis-penulis yang pernah ada alias tidak menjadi epigon siapapun. Dan kemampuan mengolah cerita adalah juga sebuah keharusan yang lain. Penulis diharapkan mampu menghasilkan lompatan-lompatan ide yang menarik bahkan menakjubkan. Karena itulah sastra. (Chairil Gibran Ramadhan)


KREATIVITAS KARYA SASTRA BETAWI SEBAGAI PENJELAS NILAI-NILAI KEBETAWIAN
Oleh : Cici A. Ilyas. Disampaikan dalam Forum Kajian Jumatan LKB Jumat 16 Juli 2010

Karya sastra sejatinya terlahir untuk memberi perenungan dan pencerahan bagi masyarakat luas, karena fokusnya pada pandangan-pandangan yang kreatif, imajinatif dan inspiratif. Dengan kata lain dunia sastra, seperti dunia seni umumnya, adalah dunia yang terbuka bagi segala nilai dan imajinasi. Oleh sebab itu maka semestinya karya sastra juga bisa menyatu dalam segala kemajemukan atau pluralitas, yang pencapaiannya tidak hanya dilihat pada sebatas pengembangan karakter tokoh cerita, genre sastra dan struktur berbahasa, melainkan juga pada penafsiran atas kemajemukan garis nasib manusia dan kehidupan sosialnya. Pertanyaannya kemudian, bagaimana dan sampai dimanakah kita bisa mengembangkan kreativitas dalam sastra?


Tuntutan Pasar Atau Tuntuntan Sosial?

Semua tentu maklum, tanpa pembaca sebuah karya tidak akan teraktualisasikan sebagai karya sastra. Tidak akan menjadi refleksi pencapaian dari pergolakan bathin sang penulis dalam menemukan nilai-nilai kearifan. Di sisi lain masyarakat pembaca dibelahan dunia manapun terus berkembang dengan gejolak perubahan kehidupan sosial yang baru. Suka atau tidak suka pada kenyataannya kini telah terjadi pergeseran paradigma dalam pemikiran masyarakat kita. Logika ekonomi yang menyebabkan setiap orang sudah merasa kelelahan oleh tuntutan menjadi manusia modern, menyebabkan mereka lebih memilih bacaan yang ringan, popular dan dekat dengan problematika kekinian. Tak ayal gaya tutur realis yang mengandalkan struktur penulisan baku menjadi kurang diminati.

Sayangnya banyak sastrawan yang terjebak dalam belenggu satu nilai kebenaran yang sudah ia yakini saja, dan ragu untuk menceburkan diri dalam kemajemukan nilai-nilai baru. Padahal proses penciptaan hingga kapanpun harus dimulai lagi dari pencarian dan luncuran pertanyaan tentang hidup dan kehidupan yang tiada henti. Akibatnya pergulatan jiwa yang menjadi faktor penting lahirnya karya-karya yang membawa pencerahan baru sulit tercapai. Hal ini tidak hanya dialami sastra etnik Betawi, juga sastra etnik lainnya. Di titik inilah menurut hemat saya kreativitas dalam arti inovasi dalam bersastra menjadi tuntutan.

Dalam perjalanan sejarahnya sastra Betawi pernah sukses mengembangkan ide-ide kreatif seperti menyalin sastra lisan menjadi tulisan, menuliskan karya-karya dengan huruf Arab-Melayu kedalam huruf Latin, mengembangkan sastra pertunjukan hingga mengangkat cerita lisan dalam format cerita radio yang sangat popular. Lalu kenapa kini sastra Betawi melempem?

Banyak hal yang mungkin bisa dijelaskan oleh para sastrawan Betawi itu sendiri. Tetapi secara awam saya melihat banyak karya sastra Betawi baru yang tetap mengandalkan set lama. Set di sini tak hanya dalam penggambaran bangunan seperti rumah tinggal, juga lingkungan yang seakan menafikan unsur kekinian kota Jakarta, hingga penciptaan karakter. Padahal dari segi bahasa Betawi sangat popular sebagai dasar bahasa gaul di banyak kota besar di Indonesia. Akibatnya masyarakat yang sesungguhnya selalu familiar dengan bahasa Betawi tetap melihat kebetawian itu sendiri seakan hanya sebagai satu komunitas di sudut Jakarta, dengan pola hidup yang sulit dijangkau nalar mereka yang muda. Maka tak bisa disalahkan bila kemudian ada yang ingin mengangkat budaya yang popular itu kemudian salah interpretasi. Gambaran Betawi dimata mereka ya tetap Betawi tahun 70-an ke sana, yang terbelakang bila dibawa pada pola kekinian.

Koridor-koridor budaya dengan segala sisik meliknya memang wajib dipertahankan sebagai landasan. Pertanyaannya kemudian, apakah bila orang Betawi dibawa pada lingkungan modern akan kehilangan kebetawiannya? Atau, apakah kalau anak Betawi diberi nama Cantika, Sheila, Yudha dan sebagainya jadi terkesan tidak Betawi lagi? Lalu bila harus berkompromi dengan kemajemukan nilai-nilai baru yang terus bertumbuh, mana sesungguhnya yang ingin dipertahankan dalam faham lama, fisik atau falsafah hidup?

Dalam mempertahankan suatu idealisme kadang kita memang alergi untuk beranjak dari pakem yang sudah baku. Seakan-akan kita harus tunduk pada pasar. Tapi menurut saya berkompromi bukanlah mengalah atau melelang nilai-nilai luhur yang kita anut. Dengan tetap membawa nilai itu kita hanya coba bergerak menembus batas tabu yang membuat segalanya jadi monoton. Sebab tidak mungkin gagasan baru yang bersifat pencerahan itu akan muncul tanpa memperhatikan ide kreatif yang berkembang di masyarakat. Karena dalam konteks kreatifitas, pola pikir produktif adalah bila seseorang bersedia menghadapi tantangan dengan cara pandang, sikap dan perilaku berbeda, merespon dengan cara-cara non konvensional dan unik. Bukankah kreativitas sering kali terlahir justru melalui benturan dan penyatuan unsur-unsur yang berbeda bahkan bertentangan?

Pintu Masuk Sudah Terbuka

Kembali pada kreativitas sastra Betawi dalam memperjelas nilai-nilai kebetawian. Dalam kata pengantar untuk mempublikasikan esay sdr. Chairil Gibran Ramadhan minggu lalu saya menuliskan, melihat perkembangan budaya Betawi yang tergambarkan sedemikian jelek terutama dalam persinetronan Indonesia tidak membuat saya malu mengaku sebagai orang Betawi. Saya justru bangga. Di situlah saya melihat keistimewaan sebuah kultur bernama Betawi. Jeleknya saja laris dijual, apalagi baiknya.

Mungkin terkesan nyeleneh sekadar untuk menghibur hati. Tapi sesungguhnya saya memang melihat bahwa segala kesalahkaprahan yang sudah terjadi itu adalah anugerah yang bisa dijadikan pintu masuk untuk pembenahan dalam rangka mengangkat kembali citra budaya Betawi. Kita tidak perlu bersusah payah lagi melakukan pengenalan ulang kepada para generasi pembaca baru tentang kebetawian yang benar, karena para kreator itu telah mengantarkan penonton pada titik jenuh upaya eksploitasi pemelesetan budaya demi kepentingan komersial belaka, yang menyebabkan mereka rindu dan mencari kesejatian budaya itu sendiri. Yang harus kita yakini, karena tidak semua penonton telivisi kita memiliki intelektualitas sekelas pembantu.

Maka tantangan sekarang, tinggal bagaimana kita memanfaatkan momentum ini. Sekadar contoh kecil saya lampirkan sketsa saya yang berjudul “Hantu Ganjen” (sudah ditayangkan di FB-nya A.Cici Ilyas). Ide pelurusan itu muncul saat saya melihat legenda Ariah yang kemudian jadi Si Manis Jembatan Ancol yang sudah dipelesetkan sedemikian rupa. Padahal cerita Ariah yang asli mengandung pesan moral yang sangat mulia, tentang bagaimana seorang wanita Betawi mempertahankan harga diri di tengah himpitan kemiskinan. (CAI)©

Beberapa Catatan Tambahan :

Diskusi berkembang pada berbagai pertanyaan untuk bisa menampilkan karya-karya sastra tokoh Betawi atau yang menjadikan kehidupan orang Betawi sebagai isi tulisan. Diharapkan karya-karya sastra Betawi bukan sekedar tampil dalam bentuk cerpen-cerpen atau puisi-puisi yang berbahasa Betawi. Tapi juga bias dilahirkan karya novel, bahkan dikembangkan lebih luas menjadi produk film, baik layar lebar atau Fil TV (Sinetron)

Menjawab tantangan mpok Cici, apakah dipertahankannya fisikal performance nilai-nilai kehidupan dan bentuk kesenian Betawi atau pada prinsip substansial dengan mengikuti perkembangan jaman yang semakin modern dan derasnya arus kebudayaan asing ? Jawabannya tentu beragam. Jika dimaksudkan pada seni pertunjukan, kita tidak boleh kaku dan jangan sembarangan. Ada bagian yang harus dipertahankan, seperti misalnya Gambang Kromong dengan pijakan lagu2 dalem. Tapi jika kita tampilkan Gambang Rancag, tentu bisa dikreasikan dengan tampilan yang modernis. Ungkapan kisah kehidupan masyarakat Betawi,tentu saja tidak distigma-kan secara sempit selama tidak melanggar aturan adab,etik-moral Betawi yang agamis. Kompromi terhadap situasi boleh-boleh saja.

Sudah saatnya Betawi tampilkan karya kreatif penulis-penulis Betawi agar orang-orang tahu sastra Betawi. Karya-karya sastra Betawi memang masih seputar cerita pendek, puisi dan tulisan sketsa kehidupan, dan ada novelette yang ditulis kalangan Betawi. Dengan tampilnya mereka akan lebih semarak dunia sastra dan budaya Nasional.

Kendala pemunculan kreasi tulisan-tulisan sastra dari kalangan Betawi karena tidak ada ruang tersedia di media, baik surat kabar harian dan majalah, khususnya untuk cerpen,puisi dan novel. Juga tidak ada orang kaya Betawi “YANG KHILAF” mau bikin media Betawi atau membantu munculnya buku-buku berupa kumpulan cerita pendek,puisi dan novel Betawi serta berbagai pengetahuan tentang Betawi yang akan menambah khazanah ilmu & budaya di Nusantara ini. Masanya FirmanMuntaco, SM.Ardan dan lainnya masih ada media yang memuat karya-karya mereka. Sekarang tidak ada lagi.

Pemunculan karya sastra berupa cerpen,puisi dan novel sebenarnya merupakan upaya meningkatkan nilai-nilai ke-Betawian untuk memperlihatkan kreatifitas dan eklspresi seni, ,sekaligus membuktikan bahwa kualitas Betawi tidak bisa diabaikan begitu saja dalam panggung sastra dan budaya nasional. Kritik kasrya seni dengan memperlihatkan sikap dan tingkah laku oreang Betawi dalam sinetron-sinetron sekarang ini merupakan satu dari keinginan eksistensi& penjagaan nilai-nilai ke-Betawian maupun karya –karya orang Betawi. Kita berharap Betawi jangan disepelekan dengan menampilkan ngocolnya orang betawi yang konyol, norak, ladek atau lucu-lucuan saja tanpa mempertimbangkan aspek kehidupan dan perilaku orang Betawi lainnya. Bahkan sangat meprijhatinkan bila mengabaikan dan dan sikap moral orang Betawi yang agamis. Padahal banyak tokoh-tokoh besar yang bias ditampilkan, baik mulai jaman si-Pitung, saat perlawanan petani Betawi dan munculnya tokoh gerakan baik sejak Boedi Oetomo, Sumpah Pemuda,Revolusi 1945 dan Clash 1946-1949. Belum lagi tokoh-tokoh Betawi yang berhasil dengan profesinya dibelantara kehidupan ilmu pengetahuan dan teknoloji. Tentu bukan menggambarkannya seperti tokoh SI Doel Anak Sekolahan. Ini merupakan bagian dari pendapat peserta Forum Kajian Jumatan LKB yang diawali dengan makalah Mpk Cici.

Bagi saya, janganlah berkecil hati, khususnya dengan ketiadaan orang kaya Betawi “YANG KHILAF” sehingga dengan kekhilafannya mengangkat nilai-nilai ke-Betawian sama sejajar dan berperan dalam kasya kesusastraan Nusantara. Untuk apa berharap pada mereka yang gak peduli, yang penting dengan keadaan apa adanya kita terus berfikir dan menggunakan “otak” untuk melahirkan karya kreatif yang menunjukkan Betawi mampu !! Begitu juga, kita jangan sering bermimpi pada tokoh formal Betawi, bahkan penguasa dan pengusaha sukses yang ada. Apalagi mereka tidak tersentuh hatinya untuk bias mengangkat harkat martabat nilai-nilai ke-Betawian dalam bisang sastra dan budaya. Begitu juga kepada impian kita untuk bias memiliki media cetak,baik harian,mingguan atau bulanan sekalipun. Lupakan, kita ber-Betawi dengan ikhlas-ikhlas saja. Bisa jadi,kita “mimpipun gak perlu lagi,jika impian itu hanya berharap”

Sebagai generasi penerus Bang Maing,Firman Muntaco dan lainnya, kita jangan berharap pada tokoh-tokoh yang sekarang ini sudah nafsi-nafsi dan menyepelekan nilai sastra,seni dan budaya Betawi. Bahkan, sekalipun ada undang-undang yang member ruang agar terpelihara nilai-nilai ke-Betawian dalamaspek sastra,seni dan budaya, jangan juga kita berharap pada Pemerintah. Bisa jadi mereka anggap Betawi sudah tidak ada atau kebudayaan Betawi Cuma pelengkap ala kadarnya dalam bingkai kebudayaan nasional. Mungkin saja kan ?

Pada saatnya kebangkitan Betawi Raya seperti dimaksud bang Syarif dari FORKABI akan terwujud, maka Betawi akan dikenal orang dan orang-orang Betawi baru mengakui ke-Betawiannya. Tentu dalam arti kepentingan pragmatis,seperti terjadi dalam kepentingan politik. Jika kita bicarakan masalah-masalah yang tidak menyentuh manfaat sesuai dengan kepentiungan tersebut, maka tidak ada ruang untuk disentuh oleh mereka. Tapi dengan semangat untuk melestarikan dan terus menggali potensi kreatif kalangan Betawi yang peduli pada ke-Betawian,kita akan terkumpulkan secara alamiah dengan “ruh” perjuangan dan keikhlasan sesuai dengan nilai-nilai agamisnya Betawi.

Apa yang dilakukan oleh Chairil Gilbran, Cici.A Ilyas dan temen-temen serta abang-abang seniman,budayawan dan sastrawan Betawi, hendaknya menjadi motivasi bagi kita untuk MEMBANGGAKAN Betawi karena produk kualitas nilai-nilai ke-Betawian kita akan tampil tanpa perdulikan berapa lama lagi. Terima kasih buat mereka yang masih perduli dan kita akanselalu bersama menggali,berdiskusi dan mengembangkan karya kita sebagai pewarisan nilai-nilai ke-Betawian yang kita miliki. Terima kasih Betawi-ku. (Mathar Moehammad Kamal)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar